Sabtu, 02 Juli 2011

ENERGI

Scenedesmus, Sumber Bahan Bakar Bio Sekaligus Penetralisir Air Limbah

Jika berkaitan dengan bahan bakar bio, fasilitas pengolahan air limbah bisa jadi merupakan tempat dan terakhir untuk dipertimbangkan. Tetapi tidak demikian halnya dengan sekelompok ilmuwan dari Rochester Institute of Technology.

Para peneliti di perguruan tinggi tersebut saat ini sedang memanfaatkan algae dari jenis Scenedesmus untuk membersihkan air limbah dari zat-zat yang umum terkandung di dalamnya seperti amonia, nitrat, dan fosfat.

Metode ini menurut mereka dua kali ramah lingkungan. Yang pertama, selain algae membantu menetralisir kandungan bahan-bahan, seperti telah disebutkan sebelumnya, ganggang air ini juga merupakan alternatif sumber bahan bakar bio.

Dalam uji cobanya bersama Environmental Energy Technologies di fasilitas pengolahan air limbah di Irondequoit, New York, semua kandungan amonia, 88% nitrat dan 99% fosfat hilang dari air dimana algae tersebut ditumbuhkan. Environmental Energy Technologies merupakan divisi di bawah laboratorium pemerintah AS, Lawrence Berkeley National Laboratory dan menangani riset teknologi energi yang tidak berdampak negatif pada lingkungan.

Saat ini tim riset tersebut berhasil memperbanyak 113 liter algae di laboratorium menjadi 378 liter algae di fasilitas yang dimiliki Environmental Energy Technologies. Rencananya mereka akan meningkatkan produksi alganya sebesar 10 kali lipat dari yang telah dicapai sebelumnya atau sekitar 3.785 liter.

Jika demikian halnya, maka budi daya algae tidak lagi harus di kolam-kolam khusus, cukup di penampungan dan tempat air limbah yang ada.

21,3 GigaWatt Energi Bersih Dari Hancurnya Ekosistem di hasilkan Cina

Perkembangan ekonomi Cina yang pesat memaksa negara tersebut menyediakan energi listrik dalam jumlah besar untuk bertahun-tahun ke depan.Selain pembangkit listrik batubara yang tersebar di negara tersebut, Cina juga mengoptimalkan energi terbarukan, diantaranya adalah pembangkit listrik tenaga air.

Potensi energi air di Cina sangat besar, dan salah satunya adalah sungai Nu atau Salween. Sungai sepanjang 2.815 kilometer itu melintasi tiga negara, Cina, Burma dan Thailand.

Melihat potensi sungai dengan debit 4,876 m3/detik itu serta kebutuhan energi listrik Cina yang besar di masa depan, sebuah perusahaan listrik Huadian akhirnya telah mendapatkan ijin dari pemerintah Cina untuk membendung sungai itu guna menghasilkan listrik sebesar 21,3 GigaWatt. Rencana tersebut tertunda sejak tahun 2004, kemudian dikonfirmasikan kembali pada tahun 2009 dan akhirya mendapatkan ijin di tahun 2011. Proyeknya sendiri akan dilaksanakan selama lima tahun dari tahun 2011 hingga tahun 2015.

Jika proyek tersebut berjalan, maka beberapa dampak negatif seperti yang biasa terjadi pada pembangunan bendungan lain akan mengikutinya. Sebanyak kurang lebih 80 spesies satwa langka, seperti macan kumbang salju, kera hidung pesek serta lainnya akan tersingkir dari habitatnya dan punah. Selain itu, pasokan sungai yang juga menjadi sumber air bagi Burma dan Thailand akan sangat terpengaruh.

Meski proyek tersebut akan menghasilkan energi ramah lingkungan, tetapi prosesnya tetap menghilangkan ''keramahan'' tersebut, sama seperti proyek bendungan Three Gorges yang kontroversial. Menurut International River sungai Salween atau sungai Nu tersebut merupakan sungai terakhir yang mengalir bebas di Cina menuju Three Parallel Rivers World Heritage Site, situs pusat biodiversity Cina, dimana 6.000 spesies tanaman dan 25% spesies binatang di dunia, 13 etnik Cina yang terdiri dari 300.000 orang tinggal di dalamnya.

Selangkah Lagi Bensin Sintetis Tanpa Emisi Karbon Siap Gantikan Bensin Berbasis Minyak Bumi

Harga bensin, di berbagai belahan dunia saat ini secara perlahan mengalami kenaikan. Tetapi meski demikian, mobil-mobil yang masih menggunakan mesin konvensionalnya juga masih banyak berlalu lalang di jalanan. Artinya bensin masih menjadi bahan bakar yang diandalkan meski emisi karbonnya semakin memperburuk pemanasan global.

Barangkali dengan latar belakang itulah, Cella Energy, sebuah perusahaan di Inggris mengembangkan bahan bakar sintetik, yang jika dipasarkan komersial hanya akan berharga 1,5 US dolar per gallon atau sekitar 0,4 US dolar per liternya.

Teknologi bensin sintetis tersebut dikembangkan dari hydrida kompleks. Selama empat tahun program riset tersebut dilakukan di Rutherford Appleton Laboratory dan dirahasiakan.

Teknologi yang dimiliki Cella Energy, merupakan teknologi yang mengandalkan pada bahan dengan densitas energi tinggi dan membungkusnya dengan teknik pembuatan struktur nano atau dikenal dengan coaxial electrospraying.

Stephen Voller, CEO Cella Energy, menjelaskan bahwa perusahaannya telah mengembangkan butiran-butiran yang bisa digunakan mobil dengan bahan bakar bensin. Butiran-butiran mikro yang dikembangkan perusahaan itu merupakan material berbasis hidrogen yang juga lebih aman ditangani dibandingkan dengan bensin.

Dengan teknologi tersebut, Cella Energy yakin bahwa mobil-mobil konvensional bisa menggunakan bahan bakar sintetis baru yang dikembangkannya tanpa perlu melakukan modifikasi.


Baterai Lithium Ion Yang ''Terinfeksi'' Virus, Menyimpan Energi 10 Kali Lebih Banyak


Teknologi baterai berkembang sangat cepat. Lithium ion yang saat ini menjadi baterai favorit namun harganya relatif mahal, kemungkinan kelak bisa diproduksi dengan harga yang lebih murah.

Mahalnya baterai jenis itu tidak lepas dari digunakannya material yang digunakan untuk mengikat elektroda ke permukaan bahan logam yang digunakan secara tegak lurus. Tetapi satu tim riset di University of Maryland, Amerika Serikat, berhasil membuat sebuah baterai ''yang terinfeksi''.

''Terinfeksi'' barangkali merupakan kata yang tepat untuk menggambarkan baterai tersebut. Pasalnya baterai yang dikembangkan tim tersebut menggunakan virus yang seringkali merusak tembakau atau dikenal dengan tobacco mosaic virus.

Virus yang direkayasa secara genetik tersebut digunakan sebagai pengganti material yang berfungsi untuk mengikat elektroda dengan permukaan logam baterai dalam pola tertentu. Dengan virus ini, pola yang dihasilkan kemudian dilapisi dengan material film tipis yang bersifat penghantar, seperti nikel.

Menurut tim tersebut, metode yang mereka gunakan 100% aman. Virus baru hasil rekayasa genetika tersebut berubah menjadi tidak berbahaya ketika dihubungkan dengan pelat elektroda. Hasilnya, jumlah material aktif yang bertugas mengumpulkan ion-ion lithium juga meningkat secara efektif, yang berarti meningkatnya kemampuan menyimpan energi, sekitar 10 kali lipat.


Cina Akan Bangun Pembangkit Listrik BioGas Terbesar Pertama di Dunia

Jika suatu negara menjadi produsen susu sapi untuk memenuhi tingkat konsumsi nasionalnya yang tinggi, maka selain peningkatan gizi sebagai hal positifnya, negara tersebut juga menjadi kontributor emisi gas rumah kaca. Pasalnya, kotoran sapi yang ada di semua peternakan berpotensi melepas gas metan ke atmosfir setelah mengalami penguraian oleh bakteri.

Barangkali Cina yang akan menjadi negara pertama kali di dunia yang memanfaatkan kotoran sapi menjadi listrik dalam skala besar. Kemungkinan apa yang dilakukan oleh Huishan Dairy sebagai salah satu produsen susu besar di negara tersebut bisa menjadi contoh bagi industri susu, khususnya di Cina dan negara-negara lain.

Sebagai salah satu produsen susu sapi besar, Huishan Dairy mengimpor sekurangnya 3.000 ekor sapi dari Australia untuk menjamin ketersediaan produksi susunya. Sekurangnya 250.000 ekor sapi dimiliki perusahaan itu dan menjadi potensi menjanjikan untuk menghasilkan energi listrik sekaligus menekan emisi gas rumah kaca, tetapi untuk pembangkit ini Huishan Dairy hanya memerlukan 60.000 ekor sapi.

Rencananya Huishan Dairy akan membangun pembangkit listrik dengan mesin GE Jenbacher 420 yang memanfaatkan gas metan hasil dari kotoran sapi. Tidak ada yang istimewa dari proses produksi gas metan tersebut, karena metodanya juga masih menggunakan bakteri anaerobik untuk mengurai kotoran sekaligus menghasilkan metan dalam sebuah digester tertutup, kecuali listrik yang dihasilkannya akan sebesar 5,6 MegaWatt. Kurang lebih 3.500 rumah di sekitarnya akan menerima listrik yang menghabiskan 20 juta m3 biogas pertahunnya.

Teknologi Mars Menjaga Panel Surya Bebas Debu

energiterbarukan.net- Setiap tahun, produksi panel surya makin banyak seiring dengan meningkatnya kesadaran manusia akan pentingnya pemakaian energi terbarukan untuk mengurangi energi fosil yang menjadi salah satu penyebab pemanasan global. Tahun ini, pasar dunia dari industri panel surya mencapai US$ 24 miliar.
Sejumlah negara umumnya memasang panel surya di wilayah yang berdekatan dengan gurun. Wilayah ini dianggap cocok karena sinar matahari sangat kuat serta tidak ada halangan pepohonan, satwa liar, dan lainnya. Namun sayangnya, tanah gurun menimbulkan masalah serius, yakni butiran debu yang menempel pada panel dan lama-kelamaan mengurangi panas yang dapat diserap. Di sisi lain, wilayah gurun kesulitan mendapatkan air untuk membersihkan panel berdebu dengan air.
Seperti dikutip energiterbarukan.net dari situs www.sciencedaily.com disebutkan, tim peneliti yang dipimpin Profesor Malay K. Mazumder mempunyai jalan keluar yang ampuh pemecahan persoalan tersebut. Mereka menggunakan pembersihan otomatis yang merupakan pengembangan teknologi dari misi ke Mars. Pada 22 Agustus lalu, Mazumder dan rekan-rekannya dari NASA menyampaikan temuan itu dalam The 240th National Meeting of the American Chemical Society.
Teknologi ini melibatkan lapisan plastik transparan sebagai bahan elektrik sensitif yang menyelimuti panel surya. Sensor memantau tingkat endapan debu pada panel. Ketika tingkat debu terlalu tinggi, muatan listrik mengirim gelombang debu di atas permukaan material, mengangkat, dan membawanya pergi dari tepi panel surya.
Mazumder menjelaskan, dalam waktu dua menit, proses menghilangkan sekitar 90 persen debu selesai dan hanya membutuhkan sejumlah kecil daya listrik untuk operasi pembersihan. "Teknologi kami dapat digunakan untuk sistem fotovoltaik skala besar dan kecil. Alat ini tidak memerlukan air dan memiliki gerakan mekanis," kata Mazumder.
Teknologi pembersihan diri melibatkan pengendapan yang transparan serta bahan elektrik sensitif yang disimpan pada kaca atau lembaran plastik transparan yang menyelimuti panel. Sensor memonitor kadar debu pada permukaan panel dan bahan energi ketika konsentrasi debu mencapai tingkat kritis. Muatan listrik mengirim gelombang debu di atas permukaan material mengangkat debu dan membawanya pergi dari ujung layar itu.
Menurut Mazumder, teknologi ini tidak butuh energi banyak dan bakal menghapus 90 persen debu dari atas panel surya. Teknologi sudah diuji pada Rovers, wahana antariksa NASA, yang dikirim ke Planet Mars, yang kondisi lingkungannya bergurun atau kering.
Debu memang jadi penyakit utama panel surya. Mazumder menjelaskan, lapisan debu 1/7 ons per meter per square yard menurunkan 40 persen tenaga surya. Dia berharap pasar akan tumbuh besar sehingga makin banyak negara yang menggunakan tenaga surya. Kini, sekitar 0,04 persen produksi energi global berasal dari tenaga surya.
Memang baru 4 persen wilayah gurun di dunia yang digunakan untuk memasang instalasi tenaga surya secara permanen. Dengan temuan baru tim peneliti pimpinan Mazumder, diharapkan terjadi kenaikan penggunaan tenaga surya.


Hemat Energi, Printer HP Hanya Perlu 9 Watt

Jakarta - Hewlett-Packard (HP) resmi meluncurkan dua seri printer all in one berbasis tinta terbarunya, yakni Deksjet 1050 dan 2050. Duo deskjet ini diklaim hemat energi.
Managing Director, Imaging and Printing Group HP Indonesia Mulia Dewi Karnadi menyebutkan keunggulan mencolok dari kedua printer ini. "Yang jelas hemat energi dan ramah lingkungan. Konsumsi listriknya lebih kecil dari seri sebelumnya, bahan kemasan printer 99 persen dapat didaur ulang dan penggunaan tinta lebih efisien," ujar Dewi usai acara peluncuran bertempat di hotel Mandarin Oriental, Jakarta, Senin (23/8/2010) malam.
Untuk menjelaskan betapa hematnya konsumsi energi kedua printer tersebut, Dewi menjelaskan bahwa dalam mode aktif, konsumsi listrik printer hanya sembilan watt, saat standby 2,3 watt, keadaan sleep 1,2 watt dan pada saat dimatikan 0,3 watt. "Jauh lebih hemat dari kebanyakan printer yang pada mode aktif bisa memakai energi 80 sampai 100 watt," kata Dewi.
Karena membidik konsumen di kalangan rumah tangga, tak heran harga yang dibanderol pun terbilang cukup murah, yakni Rp 700 ribuan. Dewi bahkan mengklaim duo deskjet ini sebagai printer termurah.
Dewi enggan menyebutkan dengan gamblang soal target penjualan kedua produknya ini. Namun sebagai gambaran, dia menyebutkan saat ini di Indonesia terdapat sekitar 70 juta rumah tangga, 41 juta rumah tangga di antaranya tergolong berpenghasilan memadai dan punya kemampuan untuk membeli perangkat printer. "Nah, 41 juta household ini lah yang menjadi target market kita," tutupnya.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites